Suara tas yang dilempar dengan keras
membentur sudut meja belajar dikamar Ratri, sampai sampai Shaun The Sheep tak
berdosa yang sedang nangkring di atas meja, jatuh bergulingan terkena
sasaran lemparan tas Ratri. “achhhhhhhhhhhhhhh……………sebeeeeeeeeeeeel”, gerutu
Ratri disela – sela isak tangisnya. “Mama bener – bener gak
adiiiiiiiiiiiiiiiiiil”. Ratri membenamkan kepalanya kedalam bantalnya yg empuk.
Hanya sesenggukannya yang terdengar.
Terbayang kejadian kemarin siang. Ketika dia dan teman – teman
sedang duduk – duduk santai dikelas saat jam istirahat, tiba – tiba Fika
datang. “ Teman – teman, minggu depan ulang tahunku. Jangan lupa datang
yaaaa…..” kata Fika sembari menyodorkan undangan ke Ratri, Dea dan Faza yang
sedang menikmati jajanan mereka. “Wah……..ulang tahun yang ke 9 ya Fik”. Kata
Dea yang duduk persis disamping kiri Ratri. Belum sempat Fika menjawab, Dea
sudah melanjutkan “ Wow…….di restoran Fried Chicken yang baru itu ????”.
“Iya dong, ini kan hari special
buat aku. Dan Papa memberi kado special dengan mengadakan ultah ku disana. Maka
nya….kalian semua harus datang yaaaa….” Jawab Fika. “ Pasti…!!!!!!”. Jawabku,
Dea dan Faza hampir bersamaan.
“Ok, kalau gitu sampai ketemu lagi yaaaaa” Fika berlalu meninggalkan teman – temannya.
“ Hmmm…..seneng ya jadi
Fika, Papa nya baiiiiiiiiiiiiiik banget. Ultah anaknya aja direstoran “ kata
Faza. “Ehhh…Ratri kok diem aja dari tadi. Besok kalau mau cari kado kita barengan
yuuuukkkkkkk” ujar Dea sambil beringsut
mendekat. “ Iya, sekalian aja berangkatnya juga bareng. Nanti kita kumpul
dirumahku, biar Mama yang anter”. Ratri menjawab tapi nada suaranya
pelan. Jari tangannya membalik sampul undangan mungil berwarna pink. Terlihat
gambar Princess yang dicetak timbul dengan tulisan berwarna merah
keemasan.
“ Bagus”. Tak sadar dia bergumam. “Iya nih…..undangannya bagus banget”
sahut Faza, seolah – olah ungkapan itu untuknya. Ratri menoleh, dia tak sadar
kalau gumammanya terdengar. Dengan sedikit terpaksa bibirnya tersenyum,
menutupi perasaannya. Tiba – tiba Dea berkata “ Ehhh….bulan depan kan ulang
tahun mu Ratri. Pasti dirayain juga doooong?”. Ratri mendongakkan kepala,
seakan baru teringat. Ahhhh……..sebentar lagi kan bulan Februari, tepatnya 20
Februari ulang tahunnya. Dan tahun ini dia sudah menginjak usia ke-10. Udah gede
ternyata, sudah kelas empat dia. Kembali sebuah senyum dibibirnya, tapi
buru – buru dia menariknya kembali mengingat di keluarganya tak ada tradisi
merayakan ulang tahun. Selama ini, orang tuanya tidak pernah merayakan ulang
tahunnya. Begitu pun ulang tahun Mama dan Papanya berlalu begitu saja.
“ Tapi…………..aku kan gak pernah merayakan ulang tahun” gumamnya.
“ Justru itu, siapa tahu kali ini Mama mu mau merayakan ulang
tahunmu. Kamu kan belum pernah merayakan ultahmu?” timpal Dea. “ lagipula kamu kan anak tunggal, apa iya Papa
mu gak mau merayakannya??”.
“Ratri……………” suara Mama mengagetkan Ratri. Dengan segera disekanya
sisa – sisa air mata. Karena bagaimanapun juga dia malu kalau sampai ketahuan
menangis. Mama nya tidak pernah mengajarkan untuk cengeng. Mama selalu mendidik
dia untuk belajar menyelesaikan masalah – masalahnya sendiri lebih dulu,
meskipun nantinya tidak lepas dari pantauan Mama. “ Iya Ma…………..”. dilihatnya
Mama sudah berdiri dipintu kamarnya. Seulas senyum tersungging dibibirnya saat
menatap anak semata wayangnya. “ Ahhh…..jangan – jangan mama tau kalau aku
nangis ”. bathin Ratri. Kembali diusapnya kedua mata dan pipinya sambil
beranjak duduk.
Mama melangkah masuk dan kemudian duduk ditepian tempat tidurnya. “
Kamu cuci kaki dan muka dulu, trus makan. Sedari pulang sekolah tadi belum makan
kan?”. Ratri mengangguk sambil mengusap pipinya sekali lagi, seakan belum yakin
kalau air matanya telah diseka tadi. “ Sayaaaaang, ada yang ingin mama
tunjukkan ke kamu nanti”. Mama mengusap lembut kepala Ratri sambil memeluknya.mengingatkan
Ratri akan masa kecilnya, bahwa saat seperti inilah yang paling disukainya.
Ketika mama membenamkannya jauuuuuuuuuh kedalam pelukannya. Serasa luar biasa
tenang dan damai. “ Kamu sudah sholat
Dhuhur belum?”. Ratri menggeleng tapi tak beranjak dari pelukan Mama. “ Ya
udah, kamu sholat dulu trus makan. Habis itu, kita pergi ke sesuatu….”
Kata Mama menirukan logat tante penyanyi di televisi. Ratri jadi tersenyum dan
menganggukkan kepalanya, tanda setuju.
“ Maaaa…kita mau kemana?” Tanya Ratri. Kedua tangangannya dengan erat
memeluk pinggang Mama. Beberapa kali helm yang dipakainya menyodok – nyodok
punggung Mama kala Mama mendadak menekan rem motor matiknya. “ Nanti kamu akan
tahu sayang”. Dengan tangkas Mama menambah tarikan gas kemudian menyalip
pengendara didepannya. Mama memang tangkas berkendara. Selama ini memang mama
yang mengantar jemput sekolah Ratri. Tempat kerja Papanya jauh diluar kota,
membuatnya berangkat lebih pagi sehingga tidak sempat mengantar Ratri. Tapi tak
mengapa, Mama tidak kalah cekatan dengan Papa kalau mengendarai motor.
Mama terus melaju ke tengah kota. Sore ini cerah, tak seperti
beberapa hari belakangan yang selalu turun hujan saat sore menjelang. Tak heran
banyak orang berlalu lalang, jalanan padat. Mungkin mereka hendak menuntaskan
rencananya yang sempat tertunda hujan kemarin. Mendekati perempatan ditengah
kota, mama memperlambat laju motornya dan perlahan menepi. “ Maaaa…ini rumah
siapa?” Mama tidak menjawab tapi menghentikan motor disamping rumah besar yang
pagarnya terkunci rapat. Biarpun terkunci, pemandangan teras rumah itu terlihat
jelas dari depan. Asri namun terkesan sepi.
“ Kita tidak sedang berkunjung sayang”. Mama memarkir motor dan
melepas helm yang kemudian ditaruh di spion motor. “Kamu gak usah turun gak
papa, tapi hati – hati”.
Ratri makin gak ngerti. Dilepasnya helm, kemudian ditaruh
dipangkuannya. Dia masih duduk diatas jok motor dengan kaki menggantung
sementara Mama brdiri disampingnya. “ Ngapain sih mau Mama ngajak
kesini???”. Dari tempatnya sekarang tampak jelas keramaian jalan yang membujur
dari timur ke barat. Juga perempatan disisi sebela kirinya. Beberapa mobil dan
motor seakan berbaris rapi. Dan ketika rambu – rambu berubah hijau, satu
persatu saling berusaha mendahului. Ahhhhh……serasa nonton balapan dengan gerak
diperlambat.
“ Coba kamu lihat itu…” tangan Mama menunjuk kearah perempatan.
Rambu – rambu yang sedang merah, semua kendaraan mengurangi kecepatan dan
kemudian berhenti. Serombongan anak pengamen dan peminta – minta yang
berpakaian serba lusuh serta merta mendekati para pengendara. Sebagian seusia
denganku, atau setahun dua tahun diatasku.
“ Mereka….” Kembali tangan Mama menunjuk, seakan aku tidak tau arah
yang dituju. “ Kamu lihat mereka, mereka seusia denganmu. Siang malam, inilah
rumah mereka”.
“ Mereka tidak sekolah, Ma?” tanyaku tanpa memalingkan wajah dari
perempatan itu. Tampak seorang anak perempuan yang aku yakin umurnya tak lebih
dari 7 tahun sedang mengetuk – ngetuk pintu mobil yang berhenti sambil
menggendong adiknya yang tidak memakai celana. Tubuhnya kurus dengan rambut
yang kusut dan kemerahan. Pasti sudah berhari – hari dia tidak mencuci
rambutnya.
“ Sayang….untuk sekedar makan saja mereka harus bekerja keras siang
dan malam. Apa lagi untuk sekolah”. Mama beranjak ke depanku sembari memegang
kedua lututku. Aku masih diatas motor yang diparkir ditepian jalan.
“ Mama mengajak kamu kesini supaya kamu tahu dan menyadari, kalau
masih banyak orang yang tidak seberuntung kamu. Dianugerahi tubuh yang sehat
dan sempurna oleh Allah, punya orang tua yang lengkap yang menyayangimu, bisa
sekolah dan melakukan banyak kegiatan menyenangkan. Sementara mereka……..
perempatan inilah rumahnya. Beratapkan langit dan berdinding udara, jangan
ditanya dinginnya saat malam dengan perut yang kosong. Untuk makan, mereka
harus menyodorkan tangan ke pengguna jalan. Belum lagi mereka juga harus
bermain kucing kucingan dengan aparat saat ada razia”.
“Cukup Ma…..” Ratri terisak, air matanya meleleh dikedua pipinya.
Tapi kali ini dia tak malu lagi. Dipeluknya Mama dengan erat, serasa rindu
karena lama tak berjumpa. “ Ratri ngerti maksud Mama mengajak Ratri kesini”.
Mama mengangguk sambil membalas pelukan Ratri. Beberapa pengendara yang lewat
sempat menoleh, tapi Ratri tak perduli.
“ Mama ingin agar Ratri bersyukur karena masih banyak anak yang
tidak seberuntung Ratri. Sementara Ratri malah meminta mama untuk menghamburkan
uang di ulang tahun Ratri. Uang yang seharusnya bisa lebih berguna. Untuk bayar
sekolah Ratri, bahkan membantu mereka”. Mama tersenyum dan mengusap air mata
dipipi Ratri.
“ Kamu anak yang cerdas sayang. Kalau Mama tidak pernah merayakan
ulang tahunmu dengan pesta, bukan berarti kalau mama pelit dan tidak adil. Ada
banyak hal yang lebih berarti yang bisa kita lakukan dengan uang kita. Dan kamu
sudah tahu jawabannya. Mama ingin agar kamu bisa berlaku baik dan bijaksana”.
“Ratri ngerti, maafkan Ratri ya maaaa……..”.
“ Tentu saja sayaaaaaang……..” kata mama sambil mencium kedua pipi
putrinya.
“ Sekarang, bagaimana kalau kita cari es cream???”. Ajak Mama dan
dijawab dengan anggukan Ratri dengan cepat. Bergegas mama meraih helm dan
menstarter motor. Rambu rambu menyala kuning. Dengan tangkas Mama mengendarai
motor melewati perempatan sebelum rambu berubah merah.
“ Ma…..es creamnya boleh yang rasa coklat yaaa???”. Ratri
mempererat pelukannya di pinggang Mama
yang tengah melaju.
:::